Parakang Dan Misterinya


Parakang dan Misterinya - Contoh tahayul di sekitar lingkaran kehidupan tampak nyata dalam peristiwa sehari-hari di kampung saya, mulai dari kelahiran (bahkan sebelumnya) sampai kematian. Seorang perempuan hamil sangat dianjurkan membicarakan, mendengar dan melihat hal yang bagus-bagus, jika sebaliknya dipercaya anaknya akan lahir jelek. Perempuan hamil yang selalu melihat orang cacat dipercaya akan melahirkan anak yang cacat pula. 

Sewaktu melahirkan, ari-ari bayi ditanam di bawah pohon kelapa agar kelak tumbuh seperti pohon kelapa: tinggi dan berguna, organisasi yang pernah dimasuki nyaris semua orang seusia saya. Ari-ari bahkan dipercaya sebagai saudara kembar bayi. Sering pula dijumpai pinggang anak-anak kecil di kampung saya berkalung sebuah bantal seukuran jempol tangan diikat benang hitam. Dalam bantal kecil itu biasanya disimpan sedikit potongan ari-ari anak bersangkutan. Saya termasuk salah satu orang yang pernah mengenakan kalung serupa itu di pinggang. Kalung itu, kata nenekku, bisa melindungi saya dari bermacam-macam bala.


Sewaktu kecil saya juga tak sepenuhnya bebas bermain karena banyak larangan ini dan itu yang harus saya patuhi. Misalnya, keluar saat mangngaribi (magrib) atau bermain-main saat turun bosi tomate (hujan orang mati) sangat berbahaya. Keduanya dipercaya sebagai waktu mahluk-mahluk halus menyebar penyakit dan tulah. Itulah mengapa disebut bosi tomate, arwah-arwah orang mati itu menyebar penyakit saat turun hujan seperti itu. Selain itu, mangngaribi dipercaya pula sebagai waktu bergentayangannya longga, mahluk halus yang tinggi sekali (longga berarti tinggi) dan Asu Panting. Kedua mahluk halus ini sangat berbahaya menurut kepercayaan orang di kampung saya. Orang yang pernah melihatnya atau berpapasan meskipun tak melihatnya akan terkena sakit keras dan bahkan meninggal.

Berbicara tentang sakit, di kampung saya bahkan banyak penyakit yang dipercaya disebabkan oleh mahluk halus. Beberapa contoh yang masih saya ingat adalah; dahu-dahureng atau dawu-dawukeng dalam bahasa Bugis Bone yang umum dikenal, pemyakit ini ciri-cirinya adalah di dada dan di punggung ada luka, seolah-olah bekas tombak yang menembus tubuh. Maddahu atau maddawu berarti menombak. (Perhatikan salah satu perbedaan penting dalam kosa-kata Bugis itu, di kampung kami bunyi ‘w’ menjadi ‘h’ seperti bahasa Bugis Sinjai.) Hampir serupa dengan penyakit itu, ada juga penyakit yang dikenal sebagai tado-tadoreng, di leher terlihat seperti bekas kena jerat, dan sarippeseng, di punggung ada luka yang perih seperti bekas orang disarippe (dipukul—dengan tali atau rotan). Untuk menyembuhkan penyakit itu juga kadang menggunakan hal yang nampak sama sekali tak masuk akal. Salah satu sepupu saya pernah menderita sarippeseng dan diobati dengan tahi cacing tanah yang masih basah (tanah serupa bukit kecil tempat cacing tanah menggali lubang).

Jika di sebuah rumah terdapat seorang yang sakit, pemilik rumah harus ‘memagari’ rumahnya dengan baca-baca (mantera) khusus sambil biasanya menyiram dengan air garam di sekeliling rumah. Hal ini dilakukan agar terhindar dari parakang yang memiliki ‘indera penciuman’ sangat tajam untuk mendeteksi tempat orang sakit berada. Parakang adalah satu jenis hantu atau mahluk halus di Bugis yang sangat ditakuti. Parakang bisa mengubah diri menjadi bermacam-macam wujud: pohon pisang, kambing, tangkai-tangkai bambu atau ampoti (keranjang dari daun kelapa tempat bertelur ayam).

Suatu waktu nenekku pernah cerita pada saya bahwa parakang mengisap pello (rektum) orang sakit. Parakang melihat orang sakit seperti sebiji nangka atau buah-buahan lain yang matang sempurna dan menggiurkan untuk dicicipi. Seorang tetangga saya dulu oleh orang-orang kampung dianggap sebagai parakang. Beberapa anak muda menghaluskan pecahan beling dan menaburkannya di pelimbahan orang itu. Konon, dengan begitu, parakang akan tersiksa dan akhirnya pindah. Orang yang diduga parakang itu memang pindah kampung mengikuti suami keduanya. Saya tak tahu persis apakah itu berhubungan dengan bubuk beling di pelimbahannya atau tidak. Selain pecahan beling, konon melepaskan belut di pelimbahan juga ampuh menyiksa parakang.