Lembaga Pengendalian Sosial

Lembaga Pengendalian Sosial - Pengendalian sosial tidak mungkin terjadi jika tidak ada yang melaksanakannya. Orang atau badan yang mengawasi, mengatur, mengontrol, atau memberi contoh demi terpeliharanya ketertiban sosial disebut lembaga pengendalian sosial. Berikut ini dijelaskan empat lembaga pengendali sosial.

a. Polisi
Polisi berperan dalam mencegah dan menangani kejahatan. Secara preventif, polisi bertugas memberikan penyuluhan mengenai kesadaran hokum dan sosialisasi berbagai peraturan dan undang-undang. Tanggung jawab utama polisi justru pada penanganan tindak kejahatan yang ada di masyarakat, seperti pencurian, penganiayaan, penghinaan, pembunuhan, penodongan, perkelahian, perusakan, perampokan, penipuan, pencemaran nama baik, pemalsuan, dan lain-lain. Apabila suatu kejahatan terjadi di masyarakat, maka polisi bertugas menangkap, memeriksa atau menyidik pelakunya. Setelah diperoleh keterangan cukup, kemudian pelaku diajukan ke pengadilan.
b. Pengadilan
Pengadilan berfungsi menentukan kepastian hukum bagi para pelanggar norma hukum. Selain itu, pengadilan juga bertugas mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa dalam urusan perdata. Keputusan yang dikeluarkan pengadilan mengacu kepada ketentuan hukum positif. Namun, sebelum mengambil keputusan, pengadilan menggelar sidang terlebih dahulu. Dalam sidang itu, pihak penyidik (polisi) mengajukan berkas perkara yang berisi uraian tindak kejahatan secara rinci dengan disertai bukti-bukti dan saksi-saksi. Di dalam sidang pengadilan, perkara diperiksa kembali dengan menghadirkan saksi-saksi. Ada tiga pihak yang berperan di dalam persidangan, yaitu hakim sebagai  pemutus perkara, jaksa berperan mengajukan tuntutan hukum sesuai ketentuan hukum tertulis dengan disertai bukti-bukti yang memberatkan tuntutan, dan pembela (pengacara) yang berusaha membantah semua tuntutan dengan bukti-bukti yang meringankan.
Berdasarkan perkara, hakim memutuskan jenis dan kadar hukuman yang dijatuhkan. Apabila keputusan hakim sudah dikeluarkan, berarti secara hokum pihak-pihak yang berperkara telah mendapat kepastian hukum. Kepastian hukum itu bersifat tetap dan mengikat. Dengan begitu, orang yang diajukan ke pengadilan sudah resmi mendapat hukuman yang setimpal dan seadil-adilnya berdasarkan keyakinan hakim yang memutus perkaranya. Ada keputusan hakim yang lebih lunak dibanding tuntutan jaksa, tetapi ada pula keputusan yang justru lebih berat daripada tuntutan jaksa. Semua itu tergantung dari berbagai faktor dan hal yang terungkap dalam persidangan di pengadilan.
c. Lembaga Adat
Lembaga adat terdiri atas nilainilai budaya, norma-norma hokum adat, dan aturan-aturan yang saling berkaitan, lengkap dan utuh. Sistem yang terbentuk bersifat tradisional, magis, dan religius. Ketradisionalannya terletak pada struktur organisasi dan jalinan kerjanya yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip organisasi modern. Sanksi pelanggaran didasarkan pada kepercayaan keagamaan maupun kepercayaan kepada hal-hal yang bersifat magis.
Lembaga adat mengatur pergaulan, perkawinan, mata pencaharian, cara berpakaian, bangunan rumah, upacara keagamaan, dan semua perilaku sosial. Jika seseorang melakukan penyimpangan perilaku, lembaga adat telah siap dengan segala perangkat penanganannya. Keputusan diambil oleh forum musyawarah para tokoh adat. Sanksi adat dapat berupa pengucilan, teguran, denda, dan lain-lain. Demikianlah cara kerja lembaga adat dalam pengendalian sosial.
d. Tokoh Masyarakat
Tokoh masyarakat adalah orang yang oleh warga masyarakat dianggap memiliki kelebihan tertentu. Kelebihan itu dapat berupa kemampuan, pengetahuan, perilaku, usia, atau status sosial tertentu. Dengan kelebihan itu, seorang tokoh dianggap sebagai pemimpin dan memiliki legitimasi kuat di mata warga masyarakat. Legitimasi membuat tokoh masyarakat menjadi suri teladan bagi warga lainnya. Selanjutnya, keteladanan memengaruhi orang lain sehingga berfungsi efektif untuk mencegah terjadinya penyimpangan sosial. Tokoh masyarakat bisa merupakan pemimpin formal maupun informal. Tokoh yang diangkat secara resmi oleh pemerintah tergolong pemimpin formal. Adapun tokoh yang bukan karena pengangkatan oleh pemerintah disebut tokoh informal.
Seorang ketua rukun tetangga atau kepala desa adalah tokoh masyarakat yang bersifat formal. Di dalam masyarakat desa, kedua tokoh itu sangat berperan dalam menyelesaikan berbagai persoalan warga. Misalnya, apabila ada dua orang bersengketa soal batas tanah, mereka mengadu kepada ketua RT atau  kepala desa. Di depan kedua tokoh itu persoalan dapat diselesaikan. Bahkan, seorang kepala desa dapat memutuskan hampir semua persoalan yang mengganggu hubungan sosial di desa. Mulai dari perkawinan, pembagian harta waris, jual beli, pencurian, perselingkuhan, pernikahan, perkelahian dan lain-lain. Tokoh informal dapat berupa pemuka agama, datuk, atau tetua adat. Berbagai masalah dalam kehidupan warga diadukan kepada para tokoh itu. Datuk dan tetua mengurusi persoalan yang berhubungan dengan adat dan tradisi, sedangkan pemuka agama menjadi suri teladan bagi warga masyarakat.[is]